Sepatah Kata


Assalamualaikum...

Blog ini tempat saya bebas mau nulis apa aja... numpahin semuanya.....
cerita..uneg2.. opini.. komentar ataupun sekedar coretan yang mudah-mudahan berarti.. yang datang ‘n pergi begitu aja… malah mungkin dilupain.. Sampe suatu saat… saya pengen baca lagi semua... 'sesuatu' yang mungkin indah ‘tuk dikenang… (garing deh… hehehe).
Oks, Buat yg ‘mo ngasih komentar, masukan or ngritik.. Monggo… bebas2 aja… negara kita demokratis kan..
‘n karena saya jg bukan penulis beneran…

Rabu, 13 April 2011

Dampak Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan Terhadap Kualitas Pelayanan

Masalah pelayanan publik yang menggejala dan terjadi di Indonesia adalah masalah krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai birokrasi publik. Gejala ini mulai nampak sejak jatuhnya pemerintahan orde baru, yang kemudian diikuti dengan semakin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik ini ditandai dengan mengalirnya protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat terhadap birokrasi publik, baik di tingkat pusat ataupun daerah. Pendudukan kantor-kantor pemerintah, rumah dinas bupati dan kepala desa, dan perusakan berbagai fasilitas publik menjadi fenomena yang sering ditemui di berbagai daerah. Ini menunjukkan betapa besarnya akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap birokrasi publik. Karenanya, ketika pintu protes itu terbuka, maka mengalirlah semua bentuk keluhan, kecaman, bahkan hujatan terhadap birokrasi publik.
Krisis kepercayaan terhadap birokrasi publik tersebut bisa dipahami mengingat birokrasi publik pada masa itu menjadi instrumen yang efektif bagi penguasa orde baru untuk mempertahankan kekuasaannya. Birokrasi publik, baik sipil maupun militer, dalam rezim orde baru telah menempatkan dirinya lebih sebagai alat penguasa daripada pelayan masyarakatnya. Kepentingan penguasa cenderung menjadi sentral dari kehidupan dan perilaku birokrasi publik. Hal ini juga tercermin dalam proses kebijakan publik yang lebih mementingkan kepentingan penguasa dan seringkali menggusur kepentingan masyarakat banyak manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama. Kesempatan dan ruang yang dimiliki oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik juga amat terbatas. Akibatnya banyak kebijakan publik dan program-program pemerintah yang tidak responsif dan mengalami kegagalan karena tidak memperoleh dukungan dari masyarakat.
Pada masa sekarang ini, konsep transparansi dalam rangka reformasi birokrasi publik sedang digalakkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal ini ditandai dengan keterbukaan dalam proses pemerintahan seluas-luasnya dengan membuka kran informasi kepada masyarakat serta memberikan kemudahan akses masyarakat kepada pemerintah. Akan tetapi penyelenggaraan pelayanan publik belum terlalu diperhatikan, misalnya akses terhadap pelayanan dan kualitas pelayanan publik sering berbeda tergantung pada kedekatannya dengan elite birokrasi dan politik. Hal seperti ini sering mengusik rasa keadilan dalam masyarakat yang merasa diperlakukan secara tidak wajar oleh birokrasi publik.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam rangka mereformasi birokrasi, sedang berusaha menekan meluasnya praktik-praktik KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) dalam kehidupan birokrasi publik. Selama ini KKN telah mencoreng image masyarakat terhadap birokrasi publik. KKN tidak hanya telah membuat pelayanan birokrasi menjadi amat sulit dinikmati secara wajar oleh masyarakatnya, tetapi juga membuat masyarakat harus membayar lebih mahal terhadap pelayanan yang diselenggarakan oleh swasta. Contohnya adalah masyarakat harus membayar mahal terhadap pelayanan publik, seperti urusan KTP, SIM, paspor, dan berbagai perijinan. Masyarakat juga harus membayar mahal ketika masyarakat mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor swasta, seperti jalan tol, semen, transportasi, dan komoditas lainnya. Hal senada disampaikan juga oleh Dwiyanto (2002: 2), bahwa KKN diyakini oleh publik menjadi sumber dari bureaucratic costs dan distorsi dalam mekanisme pasar seperti praktik monopoli dan oligopoli yang amat merugikan kepentingan publik.
Rendahnya kemampuan birokrasi merespon krisis ekonomi memperparah krisis kepercayaan terhadap birokrasi publik. Dinamika ekonomi dan politik yang amat tinggi, sebagai akibat dari krisis tersebut, ternyata tidak dapat direspon dengan baik oleh birokrasi publik sehingga membuat kehidupan masyarakat menjadi semakin sulit dan tidak pasti. Inisiatif dan kreativitas birokrasi dalam merespons krisis dan dampaknya sama sekali tidak memadai (Dwiyanto, 2002: 3). Masyarakat yang mengharapkan birokrasi publik dapat memberi respon yang tepat dan cepat terhadap krisis yang terjadi menjadi amat kecewa karena ternyata tindakan birokrasi cenderung reaktif dan tidak efektif. Berbagai persoalan yang terjadi di pusat dan di daerah tidak dapat diselesaikan dengan baik, bahkan cenderung dibiarkan sehinggga masyarakat menjadi semakin tidak percaya terhadap kemampuan birokrasi dalam menyelesaikan krisis ini.
Kemampuan dari suatu sistem pelayanan publik dalam merespons dinamika yang terjadi dalam masyarakatnya secara tepat dan efisien akan sangat ditentukan oleh bagaimana misi dari birokrasi dipahami dan dijadikan sebagai basis dan kriteria dalam pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu. Menurut Dwiyanto (2002: 4) bahwa birokrasi publik di Indonesia seringkali tidak memiliki misi yang jelas sehingga fungsi-fungsi dan aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi itu cenderung semakin meluas, bahkan kemudian menjadi semakin jauh dari tujuan yang dimiliki ketika membentuk birokrasi itu.
Sejalan dengan maksud di atas, pemerintah Kota Tegal sebagai daerah yang ingin terus membangun dan meningkatkan manajemen pemerintahannya terutama yang ditujukan pada birokrasi publik, telah merumuskan Misi dan Tujuannya, yaitu: “Mewujudkan kemampuan dan kehandalan manajemen pemerintahan dalam rangka meningkatkan pelayanan masyarakat yang lebih efektif dan efisien”. Tentu saja untuk mendukung terciptanya misi dan tujuan tersebut perlu adanya upaya dari pemerintah Kota Tegal terutama ditujukan kepada peningkatan kualitas pelayan publik seluas-luasnya kepada masyarakat.
Peningkatan kualitas pelayanan ini antara lain dilakukan dengan melakukan perubahan status desa menjadi kelurahan sesuai dengan tuntutan Pasal 126 ayat (2) UU No. 22 Th. 1999 jo. UU No. 32 Th. 2004. Berdasarkan ketentuan tersebut maka desa-desa yang ada di wilayah kotamadya dan kotamadya administratif berdasarkan UU No. 5 Th. 1974 ditetapkan sebagai kelurahan. Hal ini berarti bahwa di daerah kota tidak ada lagi desa, yang ada hanya kelurahan. Dengan demikian desa-desa yang berada di daerah kota harus diubah statusnya menjadi kelurahan.
Menurut Pasal 1 huruf a UU No. 5 Tahun 1979 desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; sedangkan menurut Pasal 1 huruf b kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Perubahan ini merupakan bentuk dari peningkatan status yang diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat perkotaan. Dengan ditetapkan status Desa menjadi Kelurahan kewenangan Desa sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat berubah menjadi wilayah kerja Lurah sebagai Perangkat Daerah Kabupaten di bawah Kecamatan.
Dilihat dari latar belakang diubahnya bentuk pemerintahan desa menjadi kelurahan bukan disebabkan karena adanya kebutuhan, tetapi karena tuntutan perundang-undangan (Conditio Sine Qua Non/syarat mutlak sesuai dengan tuntutan perundang-undangan), maka mau tidak mau, siap tidak siap, semua pemerintahan desa yang berada di wilayah kota harus berubah menjadi kelurahan.Menindaklanjuti isi dari pasal tersebut, telah ditetapkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 65 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum mengenai Pembentukan Kelurahan. Kepmendagri tersebut merupakan pedoman bagi daerah kabupaten dan kota serta DPRD dalam menetapkan peraturan daerah kabupaten dan kota mengenai pembentukan kelurahan. Pembentukan kelurahan diartikan sebagai pembentukan kelurahan baru sebagai akibat pemecahan, penggabungan dan atau perubahan status desa menjadi kelurahan.
Perubahan status desa menjadi kelurahan sebagaimana ditegaskan dalam Kepmendagri No. 65 Tahun 1999, adalah merupakan kebijakan atau upaya yang ditempuh pemerintah dalam rangka membentuk kelurahan baru dengan tujuan tercapainya efektivitas dan efisiensi pelayanan kepada masyarakat.
Sebagaimana dipahami bahwa esensi pemerintahan adalah pelayanan kepada masyarakat oleh karena itu pemerintah tidak diadakan untuk dirinya sendiri tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998: 139).
Pemerintah sebagai pelayan masyarakat (public service) sudah seharusnya memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Pelayanan yang berkualitas selain bermanfaat bagi masyarakat juga bermanfaat terhadap citra aparat pemerintah itu sendiri. Dalam info PAN (1990: 35) dikatakan bahwa:
Kualitas pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat merupakan tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas dari sistem kemampuan kelembagaan, kepegawaian dan ketatalaksanaan dalam mendorong, menumbuhkan serta memberikan pengayoman terhadap prakarsa dan pemenuhan kebutuhan pelaksanaan hak dan kewajiban masyarakat.
Mengenai kualitas aparatur pemerintahan daerah yang handal dan berbobot, J. Kristiadi sebagaimana dikutip oleh Sarundajang memberikan tolak ukur penilaiannya dengan cara memberikan ciri-ciri di dalam melakukan tugas-tugasnya sebagai aparatur pemerintah, yaitu (dalam Darumurti dan Rauta, 2000: 45):  
1.   Tanggung gugat, yaitu berkenaan dengan meningkatnya kesadaran tentang keinginan dari aparatur negara untuk memberikan pertanggungjawaban (accountability), dan kewenangan memegang tanggung gugat. Dalam hal ini aparatur pemerintahan harus bertindak, tetapi dalam cara bertindak disebut harus dapat mempertanggungjawabkan kewenangannya.
2.   Transparan (keterbukaan), yaitu bertalian dengan keinginan menyelenggarakan administrasi negara yang terbuka dan mudah dijabarkan yang berlandaskan susunan konstitusional dan keabsahannya.
3.   Efisien dan efektif, yaitu berhubungan dengan kemampuan yang tinggi untuk mengoptimalkan kemanfaatan segala sumber daya dan dana yang tersedia dalam rangka pelaksanaan tugas pelayanan.
4.   Pertanggungjawaban, yaitu ikut serta menciptakan suatu kondisi masyarakat dimana masyarakat dan aparatur negara yang melaksanakan tugas memberikan dukungan kepada kelembagaan masyarakat tentang hasil-hasil dari tugas sosialnya.
5.   Partisipatif, yaitu jaminan bahwa perorangan, kelompok atau kesatuan masyarakat di dalam masyarakat keseluruhan telah terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyatakan keinginan-keinginan dan harapan-harapan mereka terhadap pemerintah.
6.   Keadilan, yaitu berkaitan dengan suatu jaminan bahwa terdapat keadilan dan pendistribusian yang cukup atas sumber-sumber bagi mereka yang berhak menerimanya.
7.   Bersih, dalam arti perilaku seluruh aparatur negara dapat dipertanggungjawabkan, baik dilihat dari segi peraturan perundang-undangan, moral, serta sikap tindak-tanduknya dalam melaksanakan tugasnya.
Adanya perubahan dari desa menjadi kelurahan menuntut adanya penyesuaian perangkat dari perangkat desa menjadi perangkat kelurahan karena dalam kedua sistem pemerintahan itu walaupun setara tetapi komponen-komponen yang ada dalam birokrasinya berbeda. Satu masalah yang dapat muncul dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat adalah kurang mampunya perangkat kelurahan yang baru untuk melayani masyarakat dengan baik. Padahal adanya perubahan status dari desa menjadi kelurahan membawa konsekuensi adanya peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
Menurut Widodo (2001: 75), pelayanan yang diharapkan dan menjadi tuntutan pelayanan publik oleh organisasi publik yaitu pemerintah lebih mengarah pada pemberian layanan publik yang lebih professional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif.
Pelayanan publik yang profesional artinya pelayanan yang memiliki akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). Efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian tujuan dan sasaran. Sederhana, mengandung arti prosedur tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan. Kejelasan dan Kepastian (Transparan), mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai prosedur tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan baik teknis maupun administratif, unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata cara pembayaran serta jadwal waktu penyelesaian pelayanan. Keterbukaan, mengandung arti semua proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami masyarakat baik diminta ataupun tidak. Efisiensi, mengandung arti persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan, mencegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan. Ketepatan waktu mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan. Responsif lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi yang dilayani. Adaptif mengandung arti cepat menyesuaikan tuntutan apa yang tumbuh dan berkembang di lingkungan sekitarnya.

1 komentar: