Sepatah Kata


Assalamualaikum...

Blog ini tempat saya bebas mau nulis apa aja... numpahin semuanya.....
cerita..uneg2.. opini.. komentar ataupun sekedar coretan yang mudah-mudahan berarti.. yang datang ‘n pergi begitu aja… malah mungkin dilupain.. Sampe suatu saat… saya pengen baca lagi semua... 'sesuatu' yang mungkin indah ‘tuk dikenang… (garing deh… hehehe).
Oks, Buat yg ‘mo ngasih komentar, masukan or ngritik.. Monggo… bebas2 aja… negara kita demokratis kan..
‘n karena saya jg bukan penulis beneran…

Rabu, 13 April 2011

Netralitas PNS Dalam Era PILKADA Langsung


Pendahuluan
Otonomi Daerah (otda) yang diperingati setiap tanggal 25 April sesuai Keppres No. 11 Tahun 1996, telah banyak membawa warna baru dalam tatanan pemerintahan di Indonesia.
Sistem pemerintahan dari pola yang sentralistik, menjadi lebih otonom dan terdesentralisasi. Satu per satu kewenangan pemerintah pusat pun harus direlakan menjadi kewenangan pemerintah daerah, kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta beberapa kewenangan bidang lain. Salah satu yang paling berubah secara signifikan sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian di ganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 adalah mengenai pemilihan kepala daerah. Rakyat memperoleh peluang partisipasi politik yang tinggi. Dari kesempatan untuk memilih kepala daerah secara langsung dan mandiri tanpa campur tangan pemerintah di atasnya, juga pembentukan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) sebagai perkembangan baru bagi kehidupan demokrasi di tingkat desa.
Perubahan pada ranah politik lokal memungkinkan rakyat menemukan sendiri jenis pemimpinnya. Dan  kesempatan yang terbuka saat ini, muncul kecenderungan pribadi-pribadi independen memiliki kemauan untuk ikut menjadi kompetitor dalam ajang memperebutkan jabatan politik. Bursa pencalonan makin semarak dan penuh sensasional. Dari tukang becak sampai pejabat berpangkat; dari pengamen hingga artis beken ikut bersaing menjajal peruntungannya untuk menjadi orang nomor satu dalam kontes lima tahunan. Bahkan dibeberapa daerah pertarungan keluarga sangat mencolok.
Di Kediri, terjadi persaingan antara istri pertama dan isteri kedua mantan bupati, sementara di Kutai Kertanegara, mantan bupatinya masuk penjara terjerat korupsi, putrinya menang pilkada, di Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, seorang istri maju bersaing menantang suaminya yang kini berkuasa, pada area yang sama juga kakak bersaing dengan adik. Dari ruang keluarga bersaing di ruang publik, rakyat dihadapkan pada sebuah pemilihan yang tidak punya pilihan. Pilkada langsung sebagai sarana strategis pembelajaran demokrasi pun menjelma menjadi ajang perebutan kekuasaan yang sangat kompetitif, cenderung pragmatis, dan amat menegangkan.
Tahun 2010 merupakan ajang pilkada langsung kedua setelah pilkada langsung oleh rakyat dilaksanakan pada tahun 2005. Saat itu dilangsungkan 226 pilkada, yang terdiri dari 11 provinsi, 179 kabupaten, dan 36 kota. Sementara tahun ini setidaknya ada 244 pilkada yang digelar di seluruh Indonesia. Tujuh pilkada untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur; Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, dan Jambi. Sisanya sebanyak 202 pilkada kabupaten dan 35 kota, yang berada di 32 provinsi.

Konflik Kepentingan
Pilkada bukan sekadar rutinitas lima tahunan untuk memberikan persetujuan dalam melakukan pergantian pemimpinnya, melainkan sarana yang demokratis bagi rakyat untuk menjaga kesinambungan suatu sistem yang telah dibangun. Sehingga lahir suatu kontinuitas pembangunan yang mampu meningkatkan derajat kehidupan masyarakat. Pilkada juga bukan hanya berbicara tentang figur pejabat yang pernah berkuasa atau para elit politik yang punya libido besar meraih kekuasaan, tetapi sebuah ikhtiar untuk menentukan nasib rakyat lima tahun ke depan. Partisipasi rakyat menjadi penting, dengan tetap jeli dan kritis dalam menentukan pilihan, sehingga akan menghasilkan kepala daerah yang sanggup menjadi pemimpin, bukan penguasa. Pemimpin yang bukan saja jadi panutan, tapi juga tokoh yang punya komitmen menjalankan roda pemerintahan ke arah yang semakin berkualitas serta tidak menambah angka pengangguran, kemiskinan dan kebodohan. Melalui tangan pemimpin kondisi tetap (status quo) atau perubahan masyarakat akan terselenggara. Karena pemimpin mempunyai peran menentukan hitam dan putihnya suatu masyarakat. Tidak masalah dengan warna partai politiknya, sepanjang memiliki visi dan misi yang bisa membawa kemaslahatan bagi rakyat banyak, layak untuk di dukung.
Demokrasi dan desentralisasi merupakan dua bentuk semangat era reformasi. Arena demokrasi tidak lagi terpusat di Jakarta, tetapi tersebar luas ke seluruh lapisan masyarakat. Kondisi ini tentunya juga bisa jadi momentum bagi PNS untuk bisa mengantarkan orang-orang terbaiknya sampai pada pucuk-pucuk pimpinan daerah. Pertama, PNS memiliki hak memilih dan dipilih untuk mengajukan diri dalam kompetisi  memperebutkan jabatan politik. Kedua, PNS dilamar partai politik atau koalisi partai politik, sehingga melihatnya bukan sebagai ambisi pribadi, tapi amanah untuk maju dalam arena politik. Ketiga, secara kualitas PNS tidak diragukan lagi, baik pengalaman, kapabilitas, dan kompetensinya, yang sudah terlatih untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan birokrasi secara sistematis. Ketimbang kader diluar PNS yang cenderung lebih menonjolkan popularitas daripada kualitas dan pengalamannya di bidang pemerintahan.
Akan tetapi kalangan intelektual dan generasi muda berkualitas yang menyandang predikat PNS dituntut senantiasa netral dalam kancah politik praktis. Netralitas PNS adalah amanah pasal 3 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang juga dijabarkan dalam PP No. 37/2004 yang mengisyaratkan hanya ada dua opsi untuk PNS: Pertama, jika sudah bertekad aktif dalam politik praktis, maka harus legowo meninggalkan status PNS. Kedua, jika tetap ingin berkiprah mengabdi sebagai PNS, maka harus meninggalkan arena politik. Larangan PNS terlibat dalam kancah politik juga tertuang dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang dijabarkan melalui pasal 61 ayat (1) dan pasal 62 PP No. 6/2005, serta Surat Edaran Mendagri nomor 270/4627/sj tertanggal 21 Desember 2009, yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota seluruh Indonesia agar menata semua jajaran PNS untuk menjaga sikap netralnya dalam pilkada.
Keterlibatan PNS baik secara individu maupun institusional dalam kancah politik praktis, dikhawatirkan akan ada tumpang tindih peran, sehingga terjadi konflik kepentingan  (conflic of interest) yang bisa merusak tatanan bernegara;
Pertama, PNS yang berpolitik membuat mereka berada dalam situasi dilematis. Karena PNS bukan saja menjadi pelayan masyarakat tapi juga sekaligus aktor politik. Akibatnya PNS tidak lagi obyektif dalam memberikan pelayanan. Secara kelembagaan,  kemungkinan birokrasi akan terpolarisasi kedalam berbagai perpecahan berdasarkan kekuatan dan kepentingan politik. Semakin banyak elite birokrat ikut bertarung di kancah politik, semakin besar kemungkinan perpecahan birokrasi pemerintahan. Karena setiap calon akan membangun kekuatan, termasuk di internal birokrasi, akibatnya timbul faksi-faksi meskipun bersifat tersembunyi.
Kedua,  Potret PNS Indonesia selama 32 tahun sebagai pendukung bagi kejayaan partai politik yang berkuasa telah menimbulkan hancurnya tatanan politik yang demokratis. Karena keberpihakan PNS pada salah satu partai politik telah merusak kompetisi antar partai. Padahal, setiap partai politik maupun  kandidat yang bersaing sudah sepantasnya mempunyai kesempatan yang sama untuk memenangkan suara.
Ketiga, kemungkinan penyalahgunaan kewenangan karena jabatannya, seperti kampanye terselubung yang dikemas dengan rapat dinas, penggunaan anggaran dan fasilitas negara  seperti mobil dinas, rumah dinas serta kantor pemerintah dan kelengkapannya bagi parpol atau kandidat tertentu, atau pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara.

Netralitas PNS
Secara teoritik, wacana  netralitas PNS dalam politik (baik politik lokal maupun nasional) merupakan tema lama yang selalu aktual untuk dibicarakan. Terlebih di tengah era pilkada langsung selalu ada perkembangan menarik yang terkait dengan peran, posisi dan tanggungjawab PNS. Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) di negara manapun mempunyai tiga peran yang serupa.
Pertama, sebagai pelaksana peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan pemerintah. Untuk mengemban tugas ini, netralitas PNS sangat diperlukan.
Kedua, melakukan fungsi manajemen pelayanan publik. Ukuran yang dipakai untuk mengevaluasi peran ini adalah seberapa jauh masyarakat puas atas pelayanan yang diberikan PNS. Tujuan utama otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga PNS pada daerah-daerah tersebut mengerti benar keinginan dan harapan masyarakat setempat.
Ketiga, PNS harus mampu mengelola pemerintahan. Artinya pelayanan pada pemerintah merupakan fungsi utama PNS. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah harus dapat dimengerti dan dipahami oleh setiap PNS sehingga dapat dilaksanakan dan disosialisasikan sesuai dengan tujuan kebijakan tersebut.
Pengertian PNS netral bukan berarti birokrat mengisolasi diri dengan tutup mata, tutup telinga dari dunia politik. PNS dituntut mengikuti perkembangan politik sehingga memperoleh informasi cukup untuk menjatuhkan pilihan secara tepat terhadap partai politik atau calon dalam pilkada. PNS sebagai bagian dari pejabat eksekutif tidak bisa terlepas dari pengaruh politik. Karena menyangkut dinamika realitas pemerintahan yang hampir setiap saat terjadi dalam praktik politik Misalnya, saat pembahasan usulan APBD atau usulan kebijakan seperti peraturan daerah (perda) dengan legislatif. Setelah semua argumentasi disampaikan pejabat eksekutif, masih bisa dimentahkan legislatif. Itu sebabnya pejabat eksekutif tidak boleh buta politik agar mampu melakukan lobi, adu argumentasi, dan menyampaikan fakta serta data secara meyakinkan, sehingga mampu menghasilkan kebijakan yang berkualitas serta di dukung wakil rakyat di legislatif. PNS juga harus aktif menjadi pemilih dan memberikan sosialisasi kepada keluarga dan lingkungannya tentang pilkada, sehingga bisa mengurangi angka golput. Netralitas mengharuskan PNS tidak menyatakan dukungan secara terang-terangan di depan publik, tidak melibatkan diri, dan tidak berpihak, serta  tidak membantu salah satu partai politik atau kandidat yang bersaing dalam pilkada.
Netralitas PNS menjadi penting karena semakin banyaknya pejabat negara mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota, yang berasal dari partai politik. Kondisi ini akan membawa implikasi serius terhadap netralitas birokrat. PNS dituntut bertindak profesional antara menjaga netralitas dalam memberikan pelayanan sekaligus tetap menjunjung loyalitas terhadap atasan, meskipun beda warna politiknya. Sehingga PNS tidak mudah terbawa arus pusaran politik atau terkooptasi oleh kepentingan politik atasannya.

Politik Transaksional
PNS memiliki akar sejarah yang tidak pernah terlepas dari pangaruh politik yang cenderung rumit dan syarat akan intrik kepentingan. Fenomena ini akan terus mewarnai tren politik Indonesia ke depan. Penelitian yang dilakukan LIPI tahun 2005 terhdap pilkada langsung di Malang, Gowa, dan Kutai Kartanegara menyebutkan ada sejumlah faktor yang mempengaruhi birokrasi berpolitik, yaitu: kuatnya ketokohan (personality) menamamkan pengaruh terhadap PNS, vested interest PNS untuk mobilitas karir secara cepat, lemahnya sosialisasi institusi, manipulasi tafsir regulasi, kuatnya hubungan patron-client, dan peran shadow bureaucracy. Mobilitas politik terhadap individu dan institusi birokrasi digerakkan melalui jalur primordialisme (kekerabatan dan asal usul kandidat). Juga adanya dilema “rezim pelaksana” pilkada dan tafsir regulasi sepihak yang terjadi saat pilkada. Dalam satu kasus ada tim sukses yang ”bisa bermain” lewat desk pilkada untuk kemenangan kandidat. Faktor vested-interest yaitu kepentingan memelihara dan meningkatkan posisi karir/jabatan, juga kepentingan jaringan bisnis dan politik oleh shadow-bureaucracy tampak menjadi faktor dominan yang mendorong birokrasi masih berpolitik di era pilkada langsung.
Kasak-kusuk keterlibatan PNS yang ikut bermain dalam kegiatan politik praktis adalah oknum yang melibatkan diri pada penyusunan strategi pemenangan pilkada dengan menjadi tim sukses terselubung. Ada pula yang menjadi pengumpul suara dengan memobilisasi dukungan suara secara tidak terang-terangan melainkan menggunakan jalur pendekatan kekerabatan (extended family) untuk mendukung salah satu kandidat. Rumor lainnya, dengan persuasi ketika melakukan kunjungan kerja ke tengah masyarakat. Fenomena ini disinyalir karena adanya intrik kepentingan untuk bisa mendongkrak posisinya, atau setidaknya mengamankan posisinya. Oknum PNS seperti ini bila kandidat yang didukung menang pilkada, tak segan-segan “menggusur” posisi birokrat yang netral (non-partisan). Sinyalemen yang susah dibuktikan meskipun sangat kuat terasa baunya. Politik transaksional membuat pemimpin terpilih akan disuguhi buah simalakama jika menggunakan jasa birokrat; antara kesulitan “membagi” kue eselon, karena oknum birokrat yang merasa berjasa akan menuntut imbalan, pada saat yang sama PNS yang meniti kariernya secara alamiah juga tak kalah banyak. Padahal jika dicermati, PNS yang terlibat politik akan berhadapan pada dua kemungkinan;  jika calonnya menang (the winner) adalah karirnya meningkat. Sebaliknya, jika calonnya kalah (the loser) kemungkinan karirnya akan lebih buruk, karena akan dianggap sebagai orang yang berseberangan dengan pemimpinnya.
Ketidaknetralan PNS bukan sepenuhnya pilihan mereka, namun terlebih karena kondisi yang terbentuk dari sistem birokrasi.
Pertama, penjenjangan karir PNS yang diharapkan bersaing secara profesional, akan tetapi ada kalanya karir PNS ikut ditentukan oleh pejabat pembina PNS, seperti gubernur, bupati atau walikota. Tidak berlebihan momentum pilkada bagi PNS bisa dimanfaatkan sebagai sebuah spekulasi politik untuk mengubah nasib, atau sebuah manuver untuk mencari ”point” guna mendapatkan ”jatah” jabatan dengan memberikan dukungan politik kepada kontestan pilkada yang punya kans menang.
Kedua, adanya partai politik yang  tidak mengusung kadernya sendiri untuk menjadi calon kepala daerah, tetapi “menjual” parpolnya sebagai kendaraan politik bagi siapa pun yang memiliki modal finansial cukup tinggi, meskipun bukan kader patai, termasuk PNS. Dengan asumsi calon dari kalangan birokrat atau kandidat pejabat lama (incumbent), memiliki tingkat popularitas tinggi, dan jaringan lebih kuat dibanding bukan pejabat, paling tidak di lingkup PNS. Jajaran birokrat juga memiliki kecenderungan mendukung kolega mereka sebagai bentuk solidaritas korps. Kondisi semacam inilah yang ditengarai menjadi titik rawan PNS tidak netral.
Penutup
Salah satu gagasan untuk menciptakan peran PNS modern dalam fungsinya yang ideal adalah PNS yang netral. Netral berarti menempatkan posisi PNS pada wilayah yang seharusnya, yakni sebagai alat negara yang menjalankan tugas kenegaraan. Karena pada dasarnya pegawai negeri yang mendapat upah secara tetap dan dijamin kesejahteraannya oleh negara sudah semestinya berada dalam sistem administrasi ke tata negaraan belaka.  Pengabdian yang harus diberikan oleh PNS pun bukan kepada parpol atau golongan tertentu, melainkan kepada masyarakat secara keseluruhan. Menahan diri untuk tetap netral dan mengabdi secara professional, serta berkarir secara alamiah, membuat PNS  tidak lagi dihantui rasa was-was dalam meniti karier dan tidak terbawa arus pusaran politik sesaat.
Pada sisi yang lain, penilaian pegawai, promosi dan mutasi jabatan dalam birokrasi diharapkan dilakukan secara transparan dan berdasarkan variabel-variabel objektif seperti kompetensi, prestasi kerja dan daftar urut kepangkatan (DUK) serta jejak rekam karier seorang birokrat. Sehingga ada kepastian karir PNS dan tidak jatuh bangun seirama naik turunnya pejabat politik dari satu pilkada ke pilkada berikutnya. Persoalan sering muncul ketika penunjukkan seseorang atas sebuah jabatan bukan di dasarkan pada kemampuan, tetapi menjurus pada selera penguasa atu atas dasar kedekatan. –O0O–

Daftar Pustaka
·       Kompas, 19 April 2010: Rezim Keluarga di Pilkada
·       LIPI Press, 2006: Netralitas Birokrasi dalam Pilkada Langsung di Indonesia 2005 (Studi kasus Malang, Gowa dan Kutai Kartanegara)
·       Prijono Tjiptoherijanto: Mewujudkan Netralitas PNS Dalam Era Otonomi Daerah, 23/11/2008
·       Rustriningsih: Kebumen Terus Benahi Tatanan Politik di Birokrasi, Suara Merdeka, 26 April 2006
·       UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar